Opini  

KEKERASAN

Oleh: Goenawan Mohamad*)

KEADILAN, yang tak pernah selesai dirumuskan, terus menerus memproduksi cerita yang mendebarkan, cita-cita besar, hasrat yang kuat, juga kekejaman.

Kita mengenal thema ini dalam adegan “Bharatatyudha”: Bima memenggal leher Dursasana dan meminum darahnya, dan ki Dalang menggambarkannya sebagai pelaksanaan cita-cita keadilan, sebab Dursasana pernah sebelumnya hendak memperkosa Drupadi.

Kita mengenalnya juga dalam perang kemerdekaan, setidaknya dalam fiksi Pramoedya Ananta Toer: tokoh Saaman dalam “Keluarga Gerilya” membunuh ayahnya sendiri karena orang tua itu membantu penuh musuh yang menindas. Untuk itu Saaman siap dihukum mati — yang pada gilirannya mengukuhkan inti cerita ini: keadilan, kekerasan.

Kita mengenal thema ini tentu saja di Israel dan Palestina selama jam-jam ini.

Israel membunuh sekitar 250 orang Palestina, termasuk anak-anak, dengan pembenaran: adalah adil jika kami membela diri. Hamas, organisasi militan Palestina melontarkan ribuan roket ke wilayah Israel dan membunuh 12 orang, termasuk anak-anak. Alasan: kami dizalimi, bukan hanya hari-hari ini.

Keadilan sering berkelindan dengan balas dendam. Hukum “lex talionis” yang terkenal (‘satu mata dibalas satu mata’) —yang bermula dari zaman Babilonia, kemudian diadopsi kitab Yahudi, buku undang-undang Romawi dan disebut dalam Qu’ran —adalah hukum pembalasan: orang yang menciderai orang lain harus dibalas setimpal dengan kerusakan yang diakibatkannya pada sang korban.

Pembalasan seperti ini kemudian dianggap brutal; Gandhi, misalnya, mengatakan, jika hukum “satu-mata-dibalas-satu-mata” diterapkan semua orang, seluruh dunia akan buta. Tapi sejarahnya tak seburuk itu.

Memang ada jejak yang ganas dari masa sebelum Yesus. Dalam “Kitab Kejadian”, misalnya, disebut Shechem, anak Hamor, memperkosa Dinah, anak Jakob yang pèrempuan. Untuk membalas perkosaan ini, Jakob dan putra-putranya setuju menikahkan Dinah dengan Shechem jika ia dan para lelaki di kotanya bersedia disunat. Syarat ini disetujui. Tapi di hari ketiga, ketika penduduk yang penisnya dikerat masih kesakitan, anak-anak Jakob, terutama Simeon, menyerang kota itu; semua lelaki yang tak siap melawan itu dibunuh. Dinah diboyong pulang, kota yang malang itu dijarah, harta, isteri dan anak-anak diambil.

Hukum “lex talionis” dimaksudkan buat membatasi. Keadilan tak boleh ditebus secara berlebihan, seraya tetap membiarkan dendam dibalas. Satu mata yang dilukai tak boleh dibalas dengan ratusan mata orang satu kota.

“Dendam” tak selamannya mengandung makna negatif; dalam bahasa Indonesia kata “rindu dendam” menggambarkan perasaan bergejolak yang belum dipenuhi. Keadilan selalu sesuatu yang tertunda, masih “penanda kosong” dari satu kondisi yang tak kunjung selesai dirumuskan.

Dalam penundaan itu, kekerasan muncul, mencoba mengisi apa yang masih belum pasti, ketika siapa yang adil, siapa yang zalim belum terjawab. Paradoks keadilan: ia dianggap ada, bisa diraih, justru ketika ia tak ada. Kita tahu Ratu Adil adalah mithos “messianik” yang berkembang ketika orang hidup di bawah penindasan, seperti yang dialami para jelata di Jawa di abad ke-19 menjelang meletusnya pembrontakan yang dipimpin Diponegoro. Pangeran kerajaan Mataram ini dielu-elukan sebagai messiah. Perang berlangsung selama lima tahun, sejak 1825. Dengan sengit.

Tindak kekerasan itu terjadi — lumrah. Sartre dalam “Cahiers pour une morale” bahkan menyebutnya tak terpisahkan dari kemerdekaan. Kemerdekaan merupakan “negativitas murni,” “négativité pure”, sebab apa yang positif adalah penindasan oleh kekuasaan yang ada. Negativitas ditunjukkan dengan “sebuah komitmen untuk melakukan sesuatu yang destruktif atas dunia”, sepanjang dunia itu dihuni konstruksi yang mengerdilkan dan mengasingkan sesama.

Dengan kata lain, kekerasan, seperti perang pembebasan, menciptakan kembali kemanusiaan orang-orang yang terancam hilang sebagai subyek karena ditindas. Kekerasan bisa melahirkan manusia baru dari bangkai manusia lama. Menembak mati seorang penindas, kata Sartre ketika berbicara di sekitar perang kemerdekaan Aljazair, “ibarat membunuh dua ekor burung dengan sebungkah batu”: sekaligus menghancurkan sang penindas dan melenyapkan orang yang tertindas.” Yang kemudian tersisa adalah seorang yang mati dan seorang manusia yang bebas; sang penyintas akan merasakan di telapak kakinya sebidang bumi, di mana ia menemukan kemanusiaannya — dan merasa menemukan keadilan.

Dalam novel “Keluarga Gerilya”, Saaman — justru di saat ia dieksekusi — lahir kembali: subyek, bukan hanya obyek. Mungkin demikian juga seorang Palestina warga Israel yang melawan ketika tanah dan rumahnya direbut pemukim Yahudi yang menganggapnya tak pantas ada.

Tapi ia, seperti Saaman, hanya punya arti ketika dalam perlawanan itu ia mengimajinasikan, dan membangun, sesuatu yang melampaui dirinya, kaumnya, kelompoknya — sebuah nilai yang universal yang memanusiakan —“mencintai”— musuhnya. Tanpa itu, ia hanya seorang nihilis, seperti ditunjukkan oleh keganasan ISIS.

Kita tak bisa membayangkan adakah nilai itu dalam laku sang pemukim yang menyingkirkan orang Palestina dari tanahnya. Kita sulit membayangkan itu tersirat dan tersurat dalam kekerasan tentara Israel — angkatan bersenjata terbesar nomor empat di dunia, yang bersenjata nuklir dan berperalatan perang yang piawai, seraya selamanya didukung negara superkuat Amerika Serikat — ketika mereka melindungi para perebut tanah dari tangan petani yang tak berdaya.

Kekerasan hanya bisa menyelamatkan manusia dan dunia jika keadilan mewujudkan dirinya dengan memandang orang lain, yang-bukan-kita, sebagai tubuh yang mungkin terinjak.

Penulis adalah Sastrawan, Sejarawan, Pendiri Koran Tempo 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *