Opini  

Perubahan Otsus Tabrak Konstitusi dan Beri Ancaman Serius bagi Orang Asli Papua

Oleh: Marthen Goo *)

Pemerintah Pusat di Ibu Kota Jakarta terlalu menggebu-gebu sampai lupa kontrol bahwa tujuan dari penyelenggaraan pemerintah adalah untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat, bukan membuat rakyat makin marjinal, menciptakan kekerasan, dan pelanggaran HAM tinggi.

Sejak Papua diberlakukan Otonomi Khusus secara paksa sepihak dari Jakarta tanpa partisipasi rakyat Papua, Otonomi Khusus berjalan 20 tahun, faktanya adalah (1) pelanggaran HAM tinggi, (2) marjinalisasi, (3) kerusakan lingkungan, (4) sumber kehidupan orang Papua makin terancam, (5) Pengurasan SDA di Papua cukup tinggi, (6) Adanya Ilegal Maining dan Logging (masyarakat adat kehilangan kayu dan SDA).

Dalam masalah serius seperti itu, LIPI merumuskan ada 4 masalah besar di Papua, dan buku yang berjudul Papua Road Map tersebut diterbitkan saat Otsus berjalan. Sementara Gembala, Pdt. Dr. Socratez Sofyan Yoman menulis buku dengan judul Otonomi Khusus Telah Gagal.

 

Dan, Natalius Pigai, Tokoh Nasional asal Papua pun menyebutkan implementasi Otsus yang bermasalah dan beliau menawarkan bekukan Otonomi Khusus dan lakukan Dialog Jakarta-Papua.

Intinya bahwa 20 tahun pelaksanaan otonomi khusus di Papua tidak berhasil. Sehingga, jika Desentralisasi Asimetris saja tidak berhasil, maka sudah dipastikan ada yang salah.

Ini bisa kita lihat: (1) tidak ada isi dalam UU, baik ayat, maupun pasal yang bersifat menyelesaikan masalah; (2) UU dibuat hanya sebagai topeng, secara subtansi merujuk pada desentralisasi; (3) Pemerintah Pusat melihat masalah di Papua hanya sebatas uang, sementara masalah utama di Papua adalah kemanusiaan, alam dan kehidupan secara utuh.

Merespon perubahan Otsus sepihak yang dilakukan Jakarta, penulis juga pernah menulis dengan judul Rakyat Tolak Otsus Papua, Jakarta Jangan Sok Kuasa (FNN-20/4/2021) yang intinya memberikan gambaran bahwa secara konstitusi rakyat sudah menolak perubahan Otsus, sehingga, Jakarta mestinya tunduk dan hormat pada aspirasi rakyat dan mencari cara bermartabat dan demokratis dalam menyelesaikan masalah.

 

Esensi Otonomi Khusus

Bicara Otonomi Khusus, bicara tentang apa sebenarnya esensinya. Esensinya itu bicara apa sebenarnya masalah-masalah di daerah tersebut, kemudian dirumuskan masalah-masalahnya dan dibuat solusi.

Solusi tersebut kemudian dirumuskan menjadi UU secara khusus untuk menyelesaikan masalah. Masalah-masalah tersebut ada yang bersifat kebijakan tapi ada yang harus bersifat regulasi. Bagian ini tidak pernah ada saat dibuat UU No. 21 tahun 2001.

Sekarang jika kita lihat terhadap perubahan UU Otonomi Khusus di Papua, tidak dilakukan prinsip Esensial dalam merumuskan desentralisasi. Ini sama dengan adanya dugaan kejahatan konstitusi karena prinsip dasar tidak dipenuhi.

Ingat, ini negara hukum, mestinya pembuat UU jauh lebih cerdas dalam menelah dan mendengar aspirasi rakyat untuk dibuat dalam kepastian hukum, agar persoalan rakyat bisa diselesaikan didasarkan kepastian hukum.

Pembuat UU mempraktekan bim-salah-bim. Ini tontonan yang paling buruk, apalagi bagi peminat hukum tata negara. Karena prinsip dalam hukum tata negara ketika bicara tentang rumusan prodak hukum baru, hal yang diperhatikan adalah kemanfaatn dan kepastian hukum bagi kehidupan warga.

Bicara kemanfaatan harus diperhatikan nilai sebagai filosofis hidup warga dan bagimana menyelesaikan masalah sosial. Di era demokrasi, tanpa dengar pendapat rakyat, pembuat UU terkesan mempraktekan masa orde baru dengan memaksa perubahan tanpa berpegang pada demokrasi dan HAM.

 

Konstitusi Bicara

Sejarah di Indonesia membuktikan bahwa semangat reformasi lahir karena (1) buruknya ekonomi nasional yaitu pemerintahan yang korup ; (2) pelanggaran HAM yang tinggi. Atas semangat tersebut, perubahan ke-4 UUD’45 lebih mengedepankan HAM agar negara dikelolah dengan prinsip penghormatan pada HAM. Mestinya di Papua juga sama, sayangnya walau diberlakukan UU No. 21/2001, pelanggaran HAM tetap jalan terus.

Atas semangat penghormatan pada HAM tersebut, pasal 1 ayat (2) UUD’45 menyebutkan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Bukan kedaulatan berada di pembuat UU.

Karenanya harus dilaksanakan menurut prinsip-prinsip HAM. Rakyat selaku pemegang kedaulatan harus ditanya apa masalah mereka dan harus diselesaikan dengan cara apa, kemudian dirumuskan berdasarkan tingkatan, apakah masuk dalam rana perundang-undang, atau rana kebijakan.

Setiap UU yang lahir bersifat mengikat warga negara, karenanya, jika itu berhubungan dengan UU Otonomi Khusus maka terikat bagi daerah atau wilayah yang diberlakukan UU Khusus tersebut. Warga di wilayah tersebut harus diberikan ruang partisipasi.

Karena jika rakyat tidak dilibatkan dan diberi partisipasi, sementara di sisi lain, pembuat UU memaksa pelaksanaan UU diberlakukan, secara subtansi UU itu tidak ada manfaat dan harus dicabut oleh pembuat UU.

Jadi, pengertian pada pasal 1 ayat (2) UUD’45 tersebut harus dilihat secara baik, benar dan tepat bahwa rakyat punya kedaulatan, sementara DPR itu hanya perwakilan yang melaksanakan kedaulatan berdasarkan UUD’45, dimana DPR diberikan kewenangan membuat UU, sehingga, UU yang harus dibuat harus didasarkan pada aspirasi rakyat. Kalau rakyat tolak, maka, wajib RUU dibatalkan atau UU dicabut.

UU yang buruk adalah UU yang dibuat tanpa melibatkan rakyat, kemudian pembuat UU beralibi bahwa bisa dilakukan Juducial Riview kalau keberatan. Seakan Mahkamah Konstitusi dijadikan sebagai lembaga cuci piring pihak-pihak pembuat UU. Ini juga disebut UU Otoritarianisme, semangat HAM dan Demokrasi dicederai di sini.

Jadi, jika merujuk pada prinsip konstitusi di Indonesia, sesungguhnya perubahan UU Ototnomi Khusus yang dilakukan oleh kekuasaan di Jakarta secara subtansial tabrak konstitusi. Merusak tatanan HAM dan Demokrasi.

UU yang dibuat hanya untuk kepentingan pembuat UU, bukan kepentingan rakyat Papua. Ini tentu saja memberikan ancaman serius, karena sebelum perubahan, sangat buruk implementasinya.

 

Rakyat di Seluruh Tanah Papua Tolak Perubahan Otsus

Kondisi riil hari ini, rakyat di seluruh tanah Papua tolak otonomi khusus. Penolakan ini datangnya dari pengalaman buruk baik sebelum otonomi khusus maupun 20 tahun yang dipaksakan otonomi khusus di Papua.

Ini memberikan gambaran bahwa rakyat di Papua tidak percaya dengan pemerintah pusat. Apalagi saat diberlakukan Otonomi Khusus, kejahatan kemanusiaan di Papua sangat tinggi, baik kejahatan terhadap kematian orang Papua maupun kejahatan HAM terhadap Ekonomi, Sosial, Budaya dan Lingkungan.

Jika rakyat menolak Otonomi Khusus, mestinya pembuat UU menghormati sikap dan keinginan rakyat. Rakyat secara Konstitusi memiliki kedaulatan tertinggi, sementara legislatif hanya utusan atau perwakilan di Parlemen.

Secara logika, jika memakai filsafat logika akal sehatnya Rocky Gerung, “orang yang mewakili tidak memiliki hak lebih tinggi dari pada orang yang menyuruh mewakili”.

Dalam tulisan saya sebelumnya dengan judul Rakyat Tolak Otsus Papua, Jakarta Jangan Sok Kuasa (FNN-20/4/2021), di sana dijelaskan beberapa kabupaten di Tanah Papua melakukan aksi seluruh rakyat menolak Otonomi Khusus.

Bahkan, sehari sebelum penetapan, mahasiswa dan masyarakat di berbagai kota telah melakukan aksi penolakan, namun dibubarkan dan ditangkap. Esensinya adalah menolak perubahan Otsus.

Penolakan terhadap perubahan UU Otsus yang dilakukan oleh rakyat di seluruh tanah Papua memberikan gambaran bahwa pelaksaan Otonomi Khusus selamat 20 tahun telah memberikan legitimasi kejahatan HAM di tanah Papua, dan 4 masalah rumusan LIPI justru terjadi 20 tahun Otsus. Pemaksaan perubahan justru buruk karena hanya memberikan ruang bagi banjirnya kaum migran (upaya tirani); marjinalisasi dan pelanggaran HAM.

 

Solusi Demokratis

Indonesia dibangun dengan prinsip demokrasi, bukan otoritarianisme atau tirani baik suku mayoritas atau rumpun mayoritas, karenanya prinsip demokrasi lahir melalui republik.

Mestinya republik itu bukan pajangan tapi harus dipraktekan. Itu juga yang kemudian kekuasaan yang otoriter ditumbangkan pada tahun 1998. Mestinya kekuasaan di Jakarta baik Eksekutif maupun Legislatif  belajar dari tumbangnya Otoritarianisme’98.

Sebagai perwujudan dalam demokrasi, rakyat sudah menolak perubahan otonomi khsusus Papua. karenanya pembuat UU harus cabut UU. Jakarta harus buka ruang demokrasi di Papua dengan mendorong Perundingan Jakarta-Papua.

DPR dan DPD bisa desak Presiden RI untuk menunjuk Special Envoy dan Wakil Presiden sebagai penanggungjawab politik untuk melaksanakan perundingan. Aceh harus jadi rujukan.

Mengapa kekuasaan di Jakarta hanya berpikir untuk memperburuk Papua dengan kebijakan-kebijakan yang Otoritarianisme dan pemaksaan UU yang menghancurkan peradaban bangsa Papua dan entitas kebudayaan tanpa menghormati Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan konstitusi negara sebagai prinsip bersama dalam penghormatan pada HAM ?

Mari kita buktikan dengan implementasikan Perundingan Jakarta-Papua.

 

Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *