Oleh: Marthen Goo*]
Jutaan rasisme selalu membanjiri Papua, dan tindakan rasisme itu sudah berada di bawah alam sadar, sehingga, kapan saja, tindakan itu akan selalu dikeluarkan oleh siapapun, baik secara verbal maupun secara fisik, baik secara sadar ataupun tidak. Tindakan rasisme itu dilakukan oleh semua kalangan, baik yang terpelajar sampai yang tidak terpelajar. Sebelumnya kita saksikan sendiri seorang menteri sosial, Risma mengeluarkan pernyataan yang tendensi rasis terhadap Papua. Apa yang disampaikan Risma tersebut adalah apa yang ada di alam bawah sadar yang mengganggap Papua seperti yang disampaikan tersebut.
Menurut Natalius Pigai, tokoh nasional asal Papua menyebutkan “masalah rasisme tidak akan selesai kalau menteri Risma juga tidak dihukum. Jangan hanya anggota TNI saja yang dihukum, tapi seorang pejabat tinggi negara republik Indonesia yang rasis juga harus dihukum. Kecuali Jokowi memelihara rasisme yang dilakukan sukunya (Rmol-27/7/2021)
Pembenaran rasisme yang sering dilakukan berulang-ulang terhadap orang Papua oleh berbagai kalangan selalu disembunyikan dengan narasi stigmtisasi seperti pemabuk, malas, bodoh, jauh, kumuh, busuk, jorok, dan lain-lain (dan itu juga tindakan rasisme). Bahkan ada anggapan yang menganggap rendah martabat manusia Papua. pendekatan rasisme ini juga pertama kali disampaikan oleh Soekarno pendiri negara, di alun-alun Yogjakarta 19 Desember 1961, dimana Soekarno menyebut negara boneka, tentu itu rasis karena memiliki pengertian hanya orang boneka yang mendirikan negara boneka.
Selain itu, pendekatan kekerasan yang dilakukan di Papua berulang-ulang tanpa henti hingga saat ini, tentu itu pun didasari dan dipicu oleh rasisme, karena jika secara ber-adab sebagai manusia, pasti pemerintah berpikir selesaikan masalah secara menyeluruh melalui Perundingan Jakarta-Papua (cara bermartabat). faktanya, cara damai dan bermartabat selalu dihindari, dan digantikan dengan pendekatan kekerasan, tirani dan pendudukan yang berdampak pada Marjinalisasi Orang Papua dan Pemunahan Orang Papua.
Sekarang kita lihat dalam kabinet Jokowi, semua menteri itu orang Melayu, sementara Indonesia katanya terdiri dari dua rumpun. Bagimana dengan seluruh Dirjen di Kementerian, bagimana dengan Kapolri, Menteri Pertahanan dan Menkopolhukam yang selalu diduduki oleh rumpun melayu? Mestinya ada distribusi kekuasaan yang mencerminkan pancasila dan kebhinekaan. Ini tindakan alam bawah sadar yang dipraktekan ke publik.
Otsus Dipaksakan Jakarta, Rasisme Pecah Di Merauke
Baru hitung hari perubahan Otsus disahkan di DPR-RI, rasisme pecah di Merauke, 27 Juli 2021, mungkin ini rekor muri karena buah pertama menghasilkan rasisme. Sangat ironi bukan? Belum lagi kalau kita lihat, perubahan Otsus saja hanya versus Jakarta. Rakyat di seluruh tanah Papua tolak Otsus, Jakarta tetap tancap gas dan sangat tergesa-gesa tetapkan perubahan Otsus. Pada hal, ini situasi Covid. Rakyat dan Mahasiswa harus turun jalan karena menyangkut kehidupan Orang Papua dan alam Papua.
Apa motif memaksakan perubahan Otsus di situasi Pandemi? apakah agar rakyat berkumpul banyak-banyak untuk menolak Otsus dan penyebaran makin tinggi? Kenapa pembahasan sampai pada penetapan tidak dilakukan sesuai Covid? Kenapa rakyat tidak dilibatkan dalam perubahan? Kenapa aspirasi rakyat tidak menjadi penting didengar? Ini negara demokrasi, tirani atau monarki atau apa?
Sedikit terhadap jawaban ini, saya pernah menulis artikel dengan judul “Perubahan Otsus Tabrak Konstitusi dan Beri Ancaman Serius Bagi Orang Asli Papua” (FNN-22/7/2021)
Kembali ke kasus di Merauke, terhadap kasus rasisme yang dilakukan oleh dua oknum TNI tersebut sangat tidak manusiawi apalagi terhadap korban yang diduga difabel/disabilitas sementara dalam video yang berdurasi tersebut, korban dalam posisi tidak berdaya. Mestinya, jika ada tindak pidana yang dilakukan korban, cukup dipegang saja dan diserahkan pada kepolisian, bukan disiksa kaya binatang seperti pada video yang viral tersebut.
Permintaan maaf atasan tentu tidak akan menghilangkan kejahatan rasisme terhadap orang Papua. kejahatan rasisme tersebut sudah terjadi berulang-ulang dan itu sudah mengakar. Toh yang berintelek saja masih mempraktekan rasisme, bagimana dengan kroco-kroco seperti itu?
Karenanya, kejahatan rsisme itu kejahatan serius karena merendahkan martabat bangsa kulit hitam di seluruh
dunia. Metinya, itu harus dilihat sebagai hal yang penting, subtansial dan mendesak. Sayangnya, dalam perubahan UU Otsus, hampir semua hal-hal yang subtansial tidak ada. Penambahan anggaran di Otsus hanya sebagai motif penambahan pemekaran, dan penambahan keuangan tersebut bermaksud untuk mendistribusikan keuangan ke pemekaran baru, dan itu kalau dibagi justru terjadi pengurangan, dan tidak logis, artinya ada penipuan narasi sementara subtansinya tidak ada, belum lagi masalah di Papua bukan masalah uang seperti di Jawa atau tempat lain. Masalah di Papua adalah masalah keselamatan manusia Papua dan alam Papua serta Papua harus dilihat juga sebagai manusia yang bermartabat.
Hasil panen pertama perubahan Otsus sepihak Jakarta karena keinginan Jakarta, bukan keinginan Papua, kita saksikan sudah melahirkan rasisme. Belum lagi pengungsian yang masih ada di beberapa Kabupaten di Papua akibat pendekatan kekerasan yang dilakukan negara, baik di Intan Jaya, Ilaga dan Nduga. Terhadap kasus seperti ini, mestinya penataannya harus dirumuskan narasinya juga dalam Otsus terkait penertiban keamanan dan proteksi OAP, apalagi militer yang bersifat Vertikal harus diproteksi dalam aturan Khusus yang disebut Otsus didasarkan pada sosial kebudayaan Papua. Ternyata Belanda jauh lebih bermartabat karena pendekatannya dengan pendekatan kebudayaan dan kemanusiaan, bahkan tidak ada rasisme dan kejahatan kemanusiaan di Papua saat jaman Belanda.
Penulis adalah aktivis kemanusiaan asal Papua.