Opini  

Praktik Pembangunan Berkelanjutan di Industri Tekstil

KARYAJURNALIS.COM ]] BANDUNG — Modernisasi di seluruh dunia menjejaki tahapan sejarah pembangunan industri. Proses industrialisasi dilaksanakan untuk menghasilkan berbagai produk guna memenuhi kebutuhan hidup manusia. Industri diperlukan oleh suatu negara untuk memenuhi berbagai keperluan rakyatnya. Seiring dengan perkembangannya, industri juga diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Banyak proses perekonomian yang timbul dari kegiatan industri. Pada industri manufaktur misalnya, terdapat proses pencarian dan pembelian bahan baku dari produsen, kegiatan produksi hingga ke tahap penyempurnaan (finishing) produk agar layak di distribusikan. Bagi suatu negara, peran industri dalam pembangunan ekonomi adalah memperluas kesempatan kerja, menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, menghasilkan devisa melalui ekspor dan menghemat devisa melalui subtitusi produk impor (Departemen Perindustrian, 2005).

Dewasa ini, perkembangan industri begitu pesat. Hal itu tidak terlepas dari pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu dinamis mengikuti tren dan kebutuhan masyarakat. Selain itu, kegiatan industri juga didasarkan pada kebutuhan untuk menambah nilai dari produk bahan baku dan mempertinggi nilai jualnya. Ditambah lagi, kegiatan industri juga berpotensi untuk memenuhi kebutuhan akan produk tersebut dalam perdagangan internasional.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan salah satu sektor industri yang memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Hal itu dikarenakan industri tekstil merupakan sektor yang memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap Product Domestic Bruto (PDB) Indonesia. Peran penting sektor industri tekstil dapat kita lihat secara langsung dari nilai ekspor industri ini serta jumlah penyerapan tenaga kerja yang cukup massif.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa terdapat 4,7 juta tenaga kerja pada industri tekstil, produk tekstil, kulit dan alas kaki pada tahun 2022 lalu. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3,7 juta tenaga kerja merupakan pekerja pada sektor industri tekstil dan pakaian jadi. Sebanyak 947 ribu lainnya merupakan pekerja pada sektor industri kulit dan alas kaki. Selain itu, PDB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) industri tekstil dan pakaian jadi pada kuartal II/2023 berkontribusi sebesar Rp 34,8 triliun.

Sektor industri memang memiliki peran yang signifikan terhadap tujuan pembangunan perekonomian. Kegiatan industri sangat diperlukan bagi suatu negara untuk menyelenggarakan proses ekonomi, baik pada tingkat lokal, nasional hingga ekspansi pasar pada kegiatan ekspor. Namun juga perlu diperhatikan bahwa hari ini terdapat beberapa benturan antara aktivitas industri dengan isu dampak lingkungan yang ditimbulkan, juga berkaitan dengan isu-isu tentang pembangunan berkelanjutan.

Saat ini, isu tentang aspek berkelanjutan (sustainability) dan juga kelestarian lingkungan menjadi pokok perbincangan yang hangat di diskusikan. Termasuk juga benturannya dengan aktivitas produksi di industri tekstil. Seperti contoh pemakaian sumber daya air yang sangat besar dipergunakan untuk kebutuhan industri. Sebagai gambaran, berdasarkan data Australian Industry Group (2019), untuk melakukan wet finishing diperlukan sebanyak 200 liter air per kilogram fiber.

Hadirnya isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan sontak mengubah paradigma bisnis dan dunia industri. Hari ini industri dan bisnis tidak hanya dituntut untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Namun juga harus memenuhi beberapa aspek pembangunan berkelanjutan. Seperti halnya economical successfull, socially acceptable serta environmentally friendly. Aspek keberlanjutan tersebut juga berlaku bagi industri tekstil, yang saat ini menyumbang lebih dari 8 persen dari total ekspor nasional.

Kita bisa mengetahui bahwa sedikitnya terdapat lima persoalan lingkungan yang menjadi persoalan industri tekstil pada aspek keberlanjutan. Pertama yaitu persoalan Fast Fashion industries, hari ini industri pakaian jadi memproduksi pakaian dengan jumlah yang sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan pasar. Proses produksinya dilakukan dengan sangat cepat sebagai respon dari tren mode dan berpakaian yang ada di masyarakat.

Mengutip data The Sustainable Fashion Forum, konsumsi pakaian dunia diperkirakan akan terus meningkat hingga 63% pada tahun 2030. Dari 62 juta ton menjadi 102 juta ton konsumsi pembelian tekstil. Dari perkiraan tersebut, maka limbah tekstil di seluruh dunia diperkirakan akan mencapai 300 juta ton pada tahun 2050.

Di Indonesia, YouGov mengungkapkan bahwa 66 persen orang dewasa di negara kita membuang sedikitnya satu pakaian mereka dalam setahun. Bahkan, tiga dari sepuluh orang Indonesia pernah membuang pakaiannya setelah sekali pemakaian. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2021 melalui Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) mengungkapkan, Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah pakaian atau setara dengan 12 persen dari limbah rumah tangga.

Hal lainnya yang menjadi persoalan ialah penggunaan bahan baku yang tidak memenuhi kriteria berkelanjutan. Bahan baku sintetis yang sulit terurai itu membutuhkan tindakan daur ulang agar tidak menimbulkan persoalan sampah tekstil yang serius. Sampah pakaian juga menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar di tempat pembuangan akhir. Dikutip dari data Fibre2Fashion, pada tahun 2020 limbah tekstil dunia menyumbang 18,6 juta ton yang dibuang di tempat pembuangan akhir.

Selain fenomena fast fashion dan bahan baku tekstil, faktor lainnya dalam isu keberlanjutan di industri ini adalah penggunaan sumber daya air dalam jumlah yang sangat besar. Penggunaan zat kimia yang berpotensi mencemari air dan lingkungan, serta yang terakhir yaitu sumbangsih emisi karbon yang besar dari penggunaan transportasi untuk pengiriman barang.

Perilaku masyarakat yang begitu konsumtif terhadap penggunaan produk tekstil dan pakaian tentunya berpotensi menambah jumlah limbah tekstil yang tidak bertanggungjawab. Namun praktik keberlanjutan di industri tekstil tidak hanya menjadi tanggung jawab konsumen/pengguna, hal itu juga menjadi tanggung jawab pemerintah selaku stakeholder pemangku kebijakan yang diharuskan untuk turut terlibat.

Adanya larangan impor pakaian bekas di Indonesia bisa jadi salah satu pembatasan agar mengurangi sampah pakaian yang tidak layak pakai. Melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 40 Tahun 2022 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor, secara tegas pemerintah Indonesia menghalangi adanya impor pakaian bekas yang berpotensi menyebabkan bertambahnya sampah pakaian jadi.

Lebih dari itu, pelaku industri tekstil dan produk tekstil mulai dari industri hulu hingga ke hilir juga harus terlibat dalam praktik keberlanjutan. Hal itu untuk mewujudkan industri tekstil yang sukses secara ekonomi, diterima di sosial masyarakat kawasan industri serta pembangunan industri yang ramah lingkungan. Praktik pembangunan berkelanjutan di industri tekstil bisa dilaksanakan mulai dari proses perencanaan, pemilihan bahan baku, proses produksi hingga ke finish good atau barang siap pakai.

Penulis: Agus Riyanto, S. Tr. Bns

Mahasiswa Magister Ekonomi Terapan – Universitas Padjadjaran
– Pengurus IKA ITT-STTT-Politeknik STTT Bandung 2023-2027
– Koordinator Nasional Jaringan Anggota Muda Ikatan Alumni Tekstil Seluruh Indonesia (JAM-IKATSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *