Daerah  

Pansus DPR RI Bahas Soal OTSUS dan Pemekaran: Oknum Pastor Terlibat, Umat Katholik di Papua Kecewa

Ini isi surat terbuka dari Umat Katholik di Papua.

*SURAT TERBUKA: MOSI TIDAK PERCAYA KEPADA PASTOR ANSELMUS AMO, USKUP AGUNG MERAUKE DAN USKUP AGATS DI PAPUA*

“Et facti sunt mihi gaudia, etiamne luctibus.”

Dari : Soleman Itlay–umat katolik di Papua.

Ditujukan kepada yth;

  1. Pastor Anselmus Amo, MSC.
  2. Uskup Agung Marauke, Mgr. Petrus C. Mandagi, MSC.
  3. Uskup Asmat, Mgr. Aloysius Murwito, OFM.
  4. Semua pihak terkait.

Dengan hormat,

Salam damai Tuhan, saudara pastor Anselmus Amo, MSC. Semoga kamu sehat-sehat saja. Perkenalkan saya, Soleman Itlay. Senang berjumpa dengan Anda melalui surat ini, dalam rangka menanggapi permainan dan penghianatan dalam postur gereja katolik di tanah Papua. Tuhan beserta kitong dua dan smua orang dalam kemurahan cinta dan kasin-Nya di tanah yang kitong dua juga hidup dan akan mati dikubur kelak.

Terimakasih banyak. Karena kamu telah lama melayani umat di tanah Papua. Atas karya pastoral dan segala kebaikan bagi orang asli Papua, dan semua orang, saya ucapkan terima kasih banyak kepadamu, saudaraku yang seiman. Tuhan memberkati saudara pastor atas segala kebaikan di tanah tanah ini. Khususnya, bagi manusia yang miskin, lemah, teraniaya, terpinggirkan dan tertindas di Papua Selatan sana.

Dari segi usia saya cukup mudah dan kalah jauh dari pastor. Tapi dengan sadar sebagai sesama manusia dan katolik, ijinkan saya untuk menyapa Anda dengan saudara. Dengan sadar juga saya mohon dengan rendah hati untuk menyebut kamu penghianat, gembala berhati singa, singa berbuluh manusia, serigala berjubah Tuhan, juru kematian berlabel juru selamat dlsb!

Saudara pastor punya marga Amo ya? Jadi itu membuat saya pikir saudara orang asli Papua dari Senggi-Waris, Keerom, Papua. Disana ada marga Amo. Jadi saya kira saudara pastor dari daerah perbatasan antara Republik Indonesia (RI) dan Papua Niue Guinea (PNG) itu. Ternyata, bukan. Kamu bukan asli Keerom. Bukan juga asli kampung Jair, Boven Digoel, Papua. Bukan juga dari Papua Selatan. Bukan juga dari wilayah manapun di Papua.

Saya pikir saudara pastor orang asli Papua. Sebab kulitnya hitam dan rambutnya sedikit keriting. Seperti orang Papua lain dari wilayah pesisir pantai. Atau peranakan–buah dari kawin silang. Semisal, bapa Papua mama Jawa. Tapi tidak. Ternyata saudara pastor bukan orang asli Papua. Bukan juga orang asli Papua Selatan. Bukan juga peranakan Papua–NTT.

Ternyata saudara pastor seorang migran asli di Papua. Kalau tidak salah sebut dari luar Papua ya? Tapi cukup lama datang di Papua. Dibiayai oleh uang umat katolik hingga menjadi pastor katolik di tanah Papua. Saudara cukup lama mendampingi masyarakat adat atau umat katolik di Papua Selatan melalui SKPKC KAMe ya?

Saudara cukup lama merasakan suka duka bersama umat katolik di kampung Jair, Boven Digoel, Papua. Mendampingi mereka yang menolak dan melawan keberadaan perusahaan sawit, PT. Tunas Sawa Erma (TSE) yang menguasai lahan sekitar 50.000-an hektar. Selama bertahun-tahun membelah hak-hak dasar hidup umat, sumber-sumber mata pencaharian hidup umat, menentang kerusakan lingkungan hidup dan ekosistem, serta ancaman pada nasib dan masa depan anak cucu masyarakat adat sekaligus umat katolik disana.

Saya mendengar rekam jejak saudara pastor dari bapak Petrus Kinggo, seorang pemilik ulayat tanah yang saudara pastor sendiri pasti tahu. Saya juga sudah mendengar dari JE, MK, VK dan sebagian orang yang saudara pastor dulu bimbing, mendampingi, membelah dan bekerja sama dengan mereka disana. Saya mendengar bagaimana mereka mengatakan kegelisahan, kecemasan, kekhawatiran dan harapan hidup mereka yang saudara goyahkan melalui penghianatan terselubung

Saya sudah membaca, melihat, mendengar dan mengikuti semua pembicaraan umat katolik di kapel Jair yang sama-sama dengan bapak Kinggo dkk. Saya juga sudah ikuti keterlibatan, keberpihakan, sikap, dan pernyataan saudara pastor maupun umat katolik, termasuk pemilik hak ulayat di media sosial. Akhirnya, saya benar-benar kaget bagaimana saudara pastor menghianati umat katolik sendiri dan orang asli Papua di Papua Selatan, khususnya di kampung Jair, tempat dimana bapak Petrus Kinggo tinggal.

Saya kaget. Betapa luar biasanya umat katolik disana sudah terima dengan lapang dada. Dengan hati dan kasih makan saudara tanpa hitung-hitungan. Bahkan sampai menganggap saudara tak hanya sebatas imam, dan pastor yang membawah kabar gembira–juru selamat. Tetapi juga umat dan masyarakat menjadikan kamu melampaui hubungan saudara kandung atas nama Tuhan, agama, katolik dan kemanusiaan. Saya heran betapa teganya kamu menghianati mereka yang menerima dengan apa adanya dan dengan rasa memiliki yang tinggi.

Saya semakin kaget karena saya tahu saudara cukup lama mendampingi masyarakat adat dan umat katolik di Papua Selatan melalui SKPKC KAMe itu. Tapi tiba-tiba saja, bahkan diam-diam berselingkuh atas nama Tuhan, agama katolik, kemanusiaan dan lainnya dengan perusahaan sawit yang dulunya sama-sama dengan umat melawan. Saya heran bagaimana saudara bikin diri seolah-olah bapak Petrus Kinggo dkk–orang asli Papua–pemilik tanah adat.

Saya maupun umat disana sudah anggap pastor paling baik. Sampai dulu ada yang merindukan semangat pastor-pastor lain seperti saudara pastor yang dulu nampak prihatin, peduli dan bersolidaritas pada ragam peristiwa yang dialami masyarakat adat atau umat katolik disana. Saya tidak pernah duga kalau pada suatu hari, bahkan sekarang menyebut saudara penghianat yang paling langkah. Bahkan melampaui kisah penghianatan Yudas Iskariot kepada Yesus Kristus.

Hari ini saya kembali kaget. Karena saudara pastor ikut berpartisipasi dan menuntut pemekaran provinsi Papua Selatan. Saya kaget ketika menonton saudara angkat bicara mewakili Mgr. Canisius P. Mandagi, MSC–Uskup Keuskupan Jayapura dan Mgr. Aloysius Murwito, OFM–Uskup Keuskupan Asmat pada 9 Juni 2021 lalu di forum resmi–gedung parlemen DPR RI yang membahas tentang perubahan kedua UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Papua.

Saya tidak tahu: apakah saudara pastor Anselmus Amo sudah benar-benar koordinasi dengan dua uskup di Papua Selatan atau tidak? Saya juga tidak tahu: apakah semua yang disampaikan oleh saudara pastor dalam forum resmi tersebut merupakan benar-benar hasil kesepakatan dari kedua pimpinan klerus itu atau hanya mengatasnamakan mereka; mengatasnamakan Tuhan, agama, katolik, umat katolik dan orang asli Papua.

Atau saudara bicara secara personal tapi hanya memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Atau saudara mengatasnamakan kedua klerus itu agar publik mengakui, dan atau orang menganggap legalitas tuntutan pemekaran provinsi Papua Selatan semakin kuat karena ada nama pemuka agama katolik dan Kristen disana? Atau memang kedua uskup dan saudara sama-sama memanfaatkan kesempatan, agama, katolik, dan menjual masa depan umat dengan kebijakan politik betis yang memabukkan, melumpuhkan, menyalibkan, mematikan dan memusnahkan?

Apakah para klerus ingin memastikan diri di publik bahwa suara pastor semacam itu adalah suara umat? Suara pastor adalah suara Tuhan? Suara pastor adalah suara orang Boven Digoel, Mappi, Asmat, Pegunungan Bintang, Yahukimo, dan orang asli Papua? Tidak! Sungguh itu suara penghianatan atas nama Tuhan, agama, katolik, kemanusiaan, orang asli Papua! Itu adalah suara perusahaan, penguasa dan pengusaha! Bukan suara hati nurani kenabian!

Jika keterlibatan saudara pastor benar-benar mewakili Mgr. Petrus C. Mandagi, MSC dan Mgr. Aloysius Murwito, OFM, maka saya ingin mengingat kembali akan sejarah masa lalu. Sejarah, bahkan dosa politik ideologi masa lalu yang berhubungan dengan para pastor, dan pimpinan klerus di tanah Papua dan Indonesia. Bahwa gereja katolik di Papua punya dosa politik masa lalu terhadap orang Papua dan tanah Papua.

Pada 10 Mei 1965, 10 orang katekis ketemu Soekarno di Jakarta. Mereka ini orang katolik. Sedangkan dari protestan ada 9 orang. Rata-rata dari GKI Di Tanah Papua. Sebagian besar adalah tenaga katekis dari Ambon, dan Maluku. Orang-orang migran itu, termasuk para misionaris penghianat waktu itu menyerahkan tanah Papua–menguatkan penyerahan wilayah Papua pada 1 Mei 1961. Termasuk Romo Back berperan penting untuk menentukan masa depan manusia dan tanah Papua pada waktu itu dengan mengatasnamakan Tuhan, agama, katolik, GKI, dan orang Papua.

Sungguh pun orang asli Papua ada di dalamnya, tapi jumlahnya tak seberapa. Bakal itu adalah orang-orang yang mudah kompromi, tidak benar-benar sadar akan eksistensinya, mudah dihasut dan ditipu oleh orang lain. Gereja dan otoritas pemerintah mendekati orang yang bodoh, mudah kompromi, dan mudah mendukung mereka. Saya melihat pola yang sama pada hari ini. Terutama dalam tuntutan pemekaran provinsi Papua Selatan ataupun dalam kepentingan ekonomi global.

Saya melihat bagaimana para oknum klerus, termasuk saudara pastor yang dulu dekat dengan umat, rasakan suka duka sama-sama umat, kini mudah sekali berselingkuh dengan penguasa dan pengusaha. Saya kira saudara tak sekedar menghianati umatnya sendiri. Tetapi lebih dari pada itu saya heran bagaimana Anda mengatasnamakan Tuhan, agama, katolik, kemanusiaan dan orang asli Papua. Saya juga sangat heran karena kamu mengikuti jejak yang para pendahulu yang penghianat pula.

Saya lahir besar secara katolik di tanah ini. Sejak lahir sampai remaja tidak pernah melihat penghianatan setingkat dan sebusuk itu. Selama bertahun-tahun menganut katolik di tanah Papua. Hidup dan berkarya dengan sadar bahwa saya salah satu dari pondasi gereja katolik yang benar-benar dari Papua harus menjadi gereja katolik yang benar-benar dari Papua. Selama 26 tahun saya tidak pernah menyaksikan penghianatan atas nama Tuhan, agama, katolik, kemanusiaan dan orang asli Papua.

Tetapi hari ini saya kaget, bagaimana saudara dan beberapa pimpinan klerus yang umat dan orang asli Papua anggap sebagai gembala, balik menghianati mereka atas nama Tuhan, agama, katolik, kemanusiaan, orang asli Papua dan lainnya. Saya anggap ini sebuah fenomena paling tragis yang amat sistematis, terstruktur, masif dan berkelanjutan. Akhirnya, saya harus menyesal memiliki pastor seperti saudara Anselmus Amo dan uskup seperti Mgr. Petrus C. Mandagi. Juga Mgr. Aloysius Murwito, OFM kalau benar meminta DOB itu.

Benar atau salah, saya dan pasti umat lain juga menginginkan agar Uskup Agung Merauke dan Uskup Agats melakukan klarifikasi soal pernyataan pastor Anselmus Amo di hadapan Pansus RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Rapat Kerja dengan Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan, Menteri BUMN & Menteri Investasi, Rabu, 9 Juni 2021–#PansusDPR #OtsusPapua atau saudara masuk dalam tim pemekaran provinsi Papua Selatan yang sangat politik praktis.

Kalau salah, tolong katakan saya salah dengan keterangan yang jelas dan diperlukan. Kalau benar dan tidak melakukan klarifikasi, maka saya anggap bahwa para klerus–oknum pastor dan pimpinan gereja katolik di Papua dengan sendirinya mempertebal dosa politik praktis ke dalam politik ideologis. Lebih dari pada itu, bagi saya meningkatkan ketidakpercayaan orang Papua, khususnya umat katolik kepada para klerus di tanah Papua.

Dengan demikian, saya sampaikan “MOSI TIDAK PERCAYA KEPADA PASTOR ANSELMUS AMO, MGR. PETRUS C. MANDAGI, MSC DAN MGR. ALOYSIUS MURWITO, OFM”. Jika menolak atau hendak berbicara dengan saya, silahkan menghubungi saya lewat email ini: [email protected] atau menghubungi nomor: 0812 4073 9517. Saya senang bicara dalam dialog sebagai sesama manusia, dan katolik.

Demikian Ad Litteram Pastor Ovium Caritate saya. Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih banyak. Sampai jumpa. Tuhan Yesus Kristus memberkati kitong smua. Wa wa wa.

Ditulis: Di Jayapura
Hari/Tanggal: Jumat, 18 Juni 2018

Tembusan Yth;
1. Umat katolik di tanah Papua.
2. Para klerus di tanah Papua.
3. Semua pihak terkait.
4. Arsip.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *