Sikapi Situasi Terkini, Ini Surat Gembala di Papua

SURAT GEMBALA
DEWAN GEREJA PAPUA MENYIKAPI SITUASI PAPUA TERKINI
05 / VI / DGP / 2021

Pengantar :

Kami Dewan Gereja Papua menilai bahwa polemik Sekda dan surat Radiogram no.T.121.91/4124/OTDA tentang pengangkatan SEKDA Dance Flassy sebagai PLH Gubernur Provinsi Papua tidak terlepas dari sebuah skenario besar pemerintah pusat di Jakarta untuk melakukan politik pecah belah terhadap sesama orang Papua. Hal ini juga untuk melanggengkan kelanjutan pelaksanaan Otonomi Khusus dan rencana pemekaran wilayah Daerah Otonomi Baru, tanpa melibatkan rakyat Papua sebagai pihak yang menjadi subjek pembangunan negara. Polemik ini merupakan kelanjutan dari adanya dua versi pengangkatan dan pelantikan SEKDA Papua, yaitu versi Provinsi Papua dan versi Kementrian Dalam Negeri pada tanggal 1 Maret 2021.

Kami menilai bahwa hal ini juga merupakan upaya Negara untuk mengelak dari tuntutan upaya penyelesaian empat akar masalah Papua yang telah disimpulkan oleh LIPI sebagai akar konflik di Papua. Empat akar masalah tersebut yaitu:
a. Diskriminasi Rasial dan Marginalisasi;
b. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
c. Kegagalan Pembangunan
d. Status sejarah Politik Papua

Menegaskan hasil temuan LIPI tentang akar konflik di Papua, kami para pemimpin gereja Papua menyimpulkan bahwa berdasarkan pengalaman penderitaan bersama rakyat Papua, maka akar persoalan konflik Papua dan Negara adalah Rasisme sebagai “jantung” dan “nada dasar “ yang menjadi landasan terjadinya kekerasan dan penindasan terhadap orang Papua oleh negara .
Saat ini kami sedang menghadapi persoalan besar yang dialami oleh umat kami yaitu :

a. Konflik di Nduga sejak Desember 2018 yang masih terus berlangsung sampai saat ini, dan telah mengakibatkan pengungsian internal besar-besaran (Internal Displaced Persons)

b. Konflik di Intan Jaya sejak Desember 2019 sampai sekarang yang telah menelan korban para gembala dan petugas gereja sehingga juga mengakibatkan pengungsian besar-besaran (Internal Displaced Persons).

c. Konflik di Puncak sejak 2021 yang menyebabkan korban rakyat sipil dan pengungsian besar-besaran (Internal Displaced Persons) .
d. Pengungsian (IDPs) dari Tembagapura pada Januari 2020

Dampak dari konfik ini menyebabkan ribuan manusia Papua terabaikan dan tidak diperhatikan meskipun mereka sedang mati terus-menerus.

Konflik ini terjadi sebagai dampak dari dropping pasukan yang terus menerus dan berlebihan di wilayah tersebut dan wilayah lain di seluruh Tanah Papua. Hal ini menunjukkan pendekatan Jakarta dalam penyelesaian konflik di Papua dengan menggunakan pendekatan militeristik.

Kami menilai bahwa skenario polemik SEKDA, Perpanjangan Otsus dan Pemekaran Daerah merupakan upaya pengalihan isu terkait operasi militer yang telah diuraikan sebelumnya. Negara telah mengabaikan persoalan subtansial dan menganggap persoalan Pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagai persolan tidak penting dan sampingan.

Perpanjangan OTSUS dan Pemekaran daerah bukan merupakan hal darurat untuk menyelesaikan persoalan dan konflik di Papua, melainkan justru menimbulkan konflik berlanjut. Rakyat Papua telah melakukan penolakan terhadap perpanjangan Otonomi Khusus. Ada 700.000 orang Papua yang telah menyatakan OTSUS gagal melalui petisi Tolak OTSUS. Jika Perpanjangan OTSUS dipaksakan seperti langkah-langkah Jakarta beberapa tahun terakhir ini, apakah mereka akan dicap sebagai teroris?
Persoalan Rasisme yang telah terjadi pada tahun 2019, adanya pelabelan gerakan rakyat sipil Papua yang, melawan ketidakadilan sebagai kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang kemudian diumumkan oleh menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, sebagai kelompok teroris pada tanggal 29 April 2021 telah memunculkan stigma baru terhadap orang Papua sebagai Teroris.

Memperhatikan hal-hal tersebut, maka kami Dewan Gereja Papua merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut

Kepada Pemerintah Pusat :
1. Pemerintah Pusat di Jakarta segera menghentikan politik adu domba sesama orang  Papua lewat polemik antara Gubernur Provinsi Papua dan Sekertaris Daerah Provinsi Papua mengingat saat ini rakyat Papua sedang berada dalam situasi duka karena konflik dan pelanggaran HAM berkepanjangan.
2. Pemerintah segera menghentikan stigmatisasi dan pembunuhan karakter para pejabat orang asli Papua sebagai “separatis”, yang polanya telah berulang sejak berdirinya provinsi Irian Barat pada tahun 1963. Kami menilai bahwa hal ini menunjukkan ketidakpercayaan Jakarta terhadap Papua sebagai salah satu provinsi di Indonesia. Hal ini justru semakin memperkeruh konflik yang sudah terjadi sangat lama antara Jakarta Papua.
3. Pemerintah segera hentikan segala proses pengambilan keputusan yang bersifat sepihak memaksakan keberlangsungan Otonomi Khusus Papua tanpa melibatkan rakyat Papua dan mendengarkan aspirasi rakyat yang telah menolak perpanjangan Otonomi Khusus lewat Petisi Rakyat Papua yang saat ini sudah mencapai 700.000 tandatangan.
4. Melihat kebijakan-kebijakan negara terkait Papua beberapa waktu ini yang sangat penuh dengan pendekatan militeristik, maka kami mempertanyakan sejauh mana kewenangan Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara Republik Indonesia dalam mengambil keputusan kebijakan politik dan pembangunan di Papua.
5. Pemerintah Indonesia lewat kepemimpinan Presiden Joko WIdodo segera membuka akses dan mengijinkan Komisioner Hak Asasi Manusia PBB, berbagai Tim investigasi independen international dari Pacific Island Forum, negara-negara African Caribbean and Pacific (ACP) serta media asing untuk masuk ke Papua , seperti yang sudah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam berbagai pernyataannya.
6. Pemerintah Indonesia segera mengupayakan penyelesaian konflik Papua dan Jakarta dengan menindaklanjuti pernyataan Presiden Joko Widodo pada tanggal 30 September 2019 untuk bertemu dengan kelompok pro referendum.

Kepada Umat Allah di Papua ;
Situasi konflik dan polemik SEKDA Provinsi Papua ini harus dilihat sebagai satu bagian kecil dari seluruh bagian besar skenario konflik yang sedang dilaksanakan oleh Jakarta untuk Papua. Ini adalah upaya Indonesia memecah belah orang Papua, yang polanya sudah terjadi sejak tahun 1960an. Kita telah dipecah – belah dengan menggunakan sentimen relasi, yaitu Papua Gunung – Papua Pantai, Papua suku ini dan suku itu, Papua Islam dan Kristen. Ini semua berangkat dari adanya pandangan rasis terhadap orang Papua yang dianggap terbelakang dan primitif. Oleh karena itu kami menghimbau agar seluruh umat Papua tidak terjebak dalam skenario pecah belah tersebut sehingga orang Papua akan hidup terus dari generasi ke generasi.

Kepada Dunia Internasional :

Mengingat situasi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terus berlanjut dan situasi manusia Papua yang semakin terpuruk, maka kami meminta kepada pihak internasional :

1. Kepada Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB untuk segera melakukan intervensi kemanusiaan ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung dampak dari konflik dan pelanggaran HAM di Tanah Papua.
2. Terkait polemik OTSUS Papua, kami melihat tidak adanya itikad baik negara untuk menyelenggarakan evaluasi Otonomi Khusus Papua secara komprehensif dengan melibatkan seluruh rakyat Papua, lewat mekanisme yang diatur didalam UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua itu sendiri. Majelis Rakyat Papua sebagai lembaga representatif kultural rakyat Papua telah berupaya untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di seluruh Wilayah Adat Papua, namun dalam prosesnya, telah digagalkan sendiri oleh negara. Bahkan Negara terus memaksakan perpanjangan pelaksanaan Otonomi Khusus secara sepihak. Oleh karena itu kami meminta negara-negara pendukung dana dan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua, yaitu Anggota Uni Eropa, Amerika Serikat dan Australia untuk segera mengirimkan delegasi ke Papua dan melihat langsung keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua.
3. Kepada Negara-negara Anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) untuk terus memasukkan persoalan West Papua melalui ULMWP sebagai salah satu agenda di dalam pertemuan MSG Leader Summit yang akan segera dilaksanakan pada tahun ini.
4. Kepada negara-negara Anggota Pacific Island Forum untuk terus memasukkan persoalan Hak Asasi Manusia di Papua sebagai salah satu agenda di dalam pertemuan PIF Leaders Summit yang akan segera dilaksanakan pada tahun ini.

Situasi konflik Papua jika terus menerus dibiarkan maka Papua akan terjadi seperti yang digambarkan oleh rekan kami hamba Tuhan Pastor Franz Magnis Suseno, SJ , “Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk ditubuh bangsa Indonesia. Kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata.” (Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme, 2015, hal 2055 dan 2057). Hal ini juga ditegaskan oleh hamba Tuhan Pastor Frans Lishout, OFM bahwa “Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri, amat sangat menyedihkan, Papua adalah luka bernanah di muka Indonesia”. (Buku Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020, hal 601).

Sebagai penutup dari surat gembala ini, kami hendak menegaskan bahwa jika negara tidak segera menyelesaikan konflik di Papua maka Papua akan terus menjadi persoalan seperti duri di dalam daging yang akan terus menerus menusuk dan menyakitkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *