Oleh Dr. Socratez S.Yoman*)
Pemerintah Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melakukan kegiatan SEPARATIS terhadap rakyat dan bangsa Papua Barat dengan mengubah dua Pasal UU Otsus, yaitu Pasal 34 tentang Keuangan dan Pasal 76 tentang Pemekaran.
Pemerintah dan DPR RI telah melanggar Pasal 77 UU Otsus Papua yang mana diamanatkan perubahan itu datang atas dasar usul orang asli Papua melalui MRP dan DPRP. Pada saat perubahan dua Pasal UU Otsus, pada saat itu juga Pemerintah Republik Indonesia dan DPR RI menyatakan dengan resmi, bahwa Provinsi Papua dari Sorong-Merauka BUKAN lagi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah Indonesia dan DPR RI membuat sejarah, melepaskan rakyat dan bangsa Papua sebagai bangsa berdaulat terpisah dari NKRI secara konstitusional, damai dan terhormat dengan “menghancurkan” seluruh 79 Pasal UU Otsus dengan mencederai dan melukai dengan mengubah dua Pasal, yaitu Pasal 34 tentang Dana dan Pasal 76 tentang pemekaran.
Karena, UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 tidak turun sendiri dari langit, dan juga tidak diberikan oleh pemerintah Indonesia dan DPR RI kepada orang asli Papua. UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 adalah alat win-win solution tentang status politik Papua ke dalam wilayah Indonesia. UU Otsus kesepakatan politik antara dua bangsa, yaitu bangsa Indonesia dan bangsa Papua, ketika seluruh rakyat Papua bangkit dan menyatakan MERDEKA keluar dari Indonesia secara terhormat dan bermartabat di Istana Negara RI oleh Tim 100 pada 26 Februari 1999 di hadapan Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie; melalui Musyawarah Besar (MUBES) seluruh rakyat Papua pada 23-26 Februari 2000; dan juga melalui Kongres Nasional II pada 26 Mei-4 Juni 2000.
Yang jelas dan pasti, Pemerintah Indonesia dan DPR RI sedang melawan undang-undang Negara dan melakukan separatisme. Perubahan Pasal 34 dan 76 adalah gerakan separatis, blunder dan senjata makan Tuan.
Akhirnya, Pemerintah Indonesia dan anggota dalam keadaan sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak disengaja, turut mendukung dan memperkuat Perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat untuk penentuan nasib sendiri melalui ULMWP. Pemerintah Indonesia dan DPR RI telah membongkar, meruntuhkan dan merobohkan pagar atau benteng yang menjaga Papua dalam Indonesia, yaitu UU Otsus Papua.
Katanya, Pepera 1969 sudah final status politik Papua ke dalam Indonesia, dan UU Otsus juga dinyatakan status Papua final dalam Indonesia, tapi semua yang disebut final itu dimentahkan dan dihancurkan dengan kecerobohan Pemerintah Indonesia dan DPR RI dengan membongkar bendungan dan benteng NKRI di Papua dengan memotong salah satu pilar dan juga urat UU Otsus, yaitu Pasal 34 dan 76.
Rakyat dan bangsa Papua Barat dari Sorong-Merauke, Mari, Sadar, Bangkit, Berdiri Bersama dan LAWAN penguasa kolonial modern Indonesia yang merendahkan dan melecehkan martabat kemanusiaan kami selama ini sejak 1 Mei 1963. Perilaku ini salah dan tidak benar. Ini kejahatan Negara. Tindakan ini tidak menyembuhkan luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia.
Prof. Dr. Franz Magnis menegaskan:
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Franz: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).
Sekali lagi, penulis menyerukan: Mari, kita sadar, bangkit, bersatu dan lawan kejahatan kemanusiaan dan ketidakadilan, rasisme, fasisme, dan militerisme Indonesia yang berlangsung secara konstitusional, sistematis, terstruktur, masif dan kolektif di Tanah West Papua dan berdampak sangat buruk terhadap keberlangsungan kehidupan rakyat dan bangsa West Papua.
Wakhu Purom, Jumat, 18 Juni 2021
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua;
2. Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC)
3. Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC)
4. Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).