KARYAJURNALIS.COM ]] JAKARTA – Eksistensi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dimata dunia mendapat Sorotan miris akibat pemerintah salah urus.
World Bank merilis sebelum Covid-19 bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) diluar negeri sebanyak 10 juta lebih, Resmi 3.740.000, sisanya berangkat unprosedural alias ILEGAL, akibatnya seluruh hak-hak kemanusiaannya tercabut seperti Hak Perlindungan Hukum, Hak Kesehatan, Hak Politik dan Hak Mendapatkan pekerjaan yang layak.
Sementara pemerintah dengan bangga umumkan tahun 2019 PMI sebagai penyumbang devisa kedua terbesar setelah Migas yaitu 159,6 Triliun, bukan angka kecil sementara tidak pernah dilayani dengan sepenuh hati.
Lepas kendali.
Problem utamanya tentu cara dan formulasi proses yang keliru, karena kurang kontroling di wilayah SDM, asal berangkat saja, padahal regulasinya sangat jelas amanah Undang-Undang 18 tahun 2017 tentang perlindungan dan penempatan pekerja migran.
Bahwa pemerintah harus terlibat mulai proses, pada saat anak-anak bekerja diluar negeri dan ketika kembali ke kampung halamannya hingga mandiri. Mandiri artinya mereka mampu hidup layak, mengayomi keluarga bahkan sudah memiliki usaha yang melibatkan orang lain menjadi karyawan atau mitra usaha.
Solusi alternatif
Satu, pemerintah harus serius menangani PMI dari awal hingga mandiri dengan meningkatkan SDM kelas Dunia.
Kedua, pemerintah harus menganggarkan minimal 10 triliun pertahun pembiayaan kepada calon PMI yang siap berangkat keluar negeri meski sebagai dana pinjaman bergulir.
Ketiga, harus ada bank khusus PMI yang menangani secara professional baik saat persiapan berangkat dan demikian ketika kembali ke tanah air.
Keempat, mempermudah regulasi ke negara tujuan, tidak cenderung menghalang-halangi proses dengan cara berbelit-belit, alias perlu disederhanakan aturan PMI sesuai negara tujuan.
Kelima, perlu swastanisasi pengelolaan PMI, mulai proses hingga kembali, pemerintah hadir sebagai control management dan pengendali keadilan sosial saja.
Keenam, buka lapangan kerja seluas-luasnya dan bangun hubungan bilateral negara donor tenaga kerja dengan memperjuangkan gaji standarisasi dunia.
Ketujuh, ciptakan dan sertifikasi LPK BLK, LKP dan sejenisnya kelas internasional sebagai basic control SDM calon PMI ditingkat kabupaten dan kota sebanyak-banyaknya seluruh Indonesia.
Kedelapan, semua stakeholder bersatu mengawal secara totalitas dan mensupport pengusaha dan pelaku penyelenggara ketenagakerjaan.
Kesembilan, melahirkan Bank Data pengangguran secara kongkrit, bukan data parsial pengangguran tiap tahun dan pemerintah memastikan perlindungan satu nyawa PMI sama dengan nilai seluruh nyawa WNI lainnya.
Jalan panjang PMI dan suka dukanya terlalu liar sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus menjadi agenda prioritas utama menyelesaikan problem masa depan anak bangsa dan generasi yang tumbuh pesat sebagai bonus demografi karena bila tidak serius mengawal akan menjadi kecelakaan Demografi alias Musibah.(***)
Sumber: Abdul Rauf Ketua Umum Komunitas Penyedia Tenaga Kerja Internasional (KAPTEN) Indonesia (EX Migran Jepang.