Jakarta
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia, Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Forum Peduli Kesehatan memberikan perhatian dan melakukan telaah secara seksama terkait keberadaan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kesehatan, Rancangan Undang Undang Kesehatan saat ini menjadi pembahasan di Badan Legislasi DPR.
Draf RUU Kesehatan telah masuk ke program legislasi nasional sejak bulan November 2022 penyusunannya mengadopsi metode Omnibus Law yang ditandai semua urusan kesehatan di Negeri ini akan diatur dalam satu undang-undang bahkan aturan-aturan yang bersinggungan dengan kesehatan di Indonesia.
“Kesehatan merupakan kondisi sejahtera badan dan jiwa, kesehatan merupakan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) 1945. Untuk itu, Pemerintah dan DPR perlu mengingat keempat alenia Pembukaan UUDNRI 1945 agar secara jujur menempatkan bangunan filosofi bangsa tersebut difungsikan sebagai landasan politik hukum nasional berbasis demi dan untuk kepentingan rakyat semesta bukan untuk kepentingan kapitalisme liberal sekuler,” kata Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Busyro Mupaddas dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (07/02).
Menurutnya, Setelah melakukan telaah awal secara seksama terkait keberadaan Rancangan Undang- undang (RUU) tentang Kesehatan, maka Kami merasa perlu memberikan catatan kritis atas RUU tersebut:
1. Bahwa metode Omnibus dalam penyusunan RUU Kesehatan telah dipergunakan tanpa melibatkan peran aktif seluruh sektor yang terdampak pengaturan, hal ini mengulang pola pengaturan dengan metode Omnibus baik dalam bentuk PerPa No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja maupun UU 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Mengingat kerangka dari RUJU tentang Kesehatan dibuat dengan pola Omnibus Law, mengabaikan partisipasi publik serta tidak bersifat partisipatif dan menyalahi prosedur pembentukan perundang-undangan maka dikhawatirkan berpotensi akan terjadi disharmoni dan konfliktual dengan aturan lain.
2. RUU Tentang Kesehatan merupakan bagian dari gerakan global liberalisasi di bidang kesehatan, sesuatu yang kalaupun dianggap sebagai hal yang tak dapat dihindari, tetap harus disikapi dengan berhati-hati dan tidak gegabah, agar tidak merugikan kepentingan bangsa dan masyarakat selaku konsumen di bidang kesehatan.
3. RUU tentang Kesehatan yang turut merubah UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Undang- Undang Pendidikan Tinggi menunjukkan penerapan metode Omnibus yang tidak tepat dan salah arah, pemberian kewenangan terbatas pada Kemnterian di bidang pendidikan dan mengubah pola pengelolaan Jaminan Kesehatan semakin menunjukkan campur tangan Pemerintah dalam hal ini Kementrian Kesehatan yang kembali ingin mengendalikan sektor kesehatan agar dapat melepaskan industri kesehatan kepada mekanisme pasar.
RUU Tentang Kesehatan bisa memberikan dampak lanjut, antara lain dalam lingkup berlangsungnya praktik komodifikasi pendidikan sumberdaya manusia di bidang kesehatan di sekolah dan perguruan tinggi, tenaga kesehatan disiapkan untuk menjadi pekerja bagi pebisnis dan perusahaan dalam logic industrialisasi kesehatan, dan sekaligus dialpakan dengan misi humanis-profetisnya saat menjalankan profesi di bidang kesehatan
4. Bahwa RUU Tentang Kesehatan tersebut secara mendasar telah merubah filosofi bidang kesehatan, yang pada awalnya ditujukan sebagai layanan pemenuhan salah satu hak dasar kepada masyarakat (selaku konsumen bidang kesehatan) menjadi kegiatan industrialisasi dan komersialisasi yang berorientasi bisnis dan mencari keuntungan semata-mata.
5. RUU tentang Kesehatan menunjukkan arah pengaturan yang menempatkan pemerintahan sebagai aktor utama dalam pengelolaan bidang kesehatan dengan melakukan pengaturan yang bersifat delegasi blanko. Tidak kurang dari 56 aturan bersifat delegasi blanko dalam RUU Kesehatan yang dilarang penggunannya dalam UU 9tentang pembentukan UU.
6. RUU tentang Kesehatan berpotensi menghilangkan Independensi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang sebelumnya diatur dalam undang undang BPJS, BPJS bertanggung jawab kepada presiden kini pertangung jawabannya kepada presiden tetapi melalui kementerian kesehatan hal ini semakin mengindikasikan untuk menjadikan BPJS sebagai Instrumen birokrasi pemerintah.
RUU tentang Kesehatan sebagaimana maksud mengubah pengaturan BPJS sebagai Badan Hukum Publik Independen. Perubahan ini memunculkan risiko pengelolaan dann BPJS tidak berjalan baik akibat ketidakmandirian lembaga tersebut dan berpotensi dimanfaatkan oleh kepentingan politik pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Pada akhirnya dana umat untuk jaminan kesehatan menjadi tidak optimal dan tidak bermanfaat bagi kesehatan umat.
7. RUU tentang Kesehatan patut diwaspadai sebagai bentuk melayani kepentingan bisnis oligarki tertentu yang sudah lama menguasai jaringan bisnis bidang kesehatan dengan mengorbankan kepentingan masyarakat luas sebagai konsumen bidang kesehatan. Pengaturan yang memberikan ruang besar kepada Menteri Kesehatan untuk dapat memberikan data kesehatan meskipun dengan alasan dan kewenangan khusus berpotensi dimanfaatkan oleh industri bisnis kesehatan memanfaatkan informasi tersebut bagi kepentingan industri obat dan peralatan kesehatan.
8. RUU tentang Kesehatan mencabut UU Kesehatan beserta 8 Undang-Undang diluar UU Kesehatan. Artinya RUU Kesehatan meliputi pengaturan profesi kesehatan. UU diluar UU Kesehatan diantaranya mengatur tentang Profesi, yakni Profesi Dokter dan Dokter Gigi, Profesi Kebidanan, Profesi Keperawatan dan Profesi Tenaga Kesehatan. Pengaturan tersebut terlihat dalam UU Praktik Kedokteran, UU Kebidanan, UU Keperawatan dan UU Tenaga Kesehatan. RUU Kesehatan melakukan pengaturan ulang tanpa keterlibatan organisasi profesi yang ada, secara komprehensif dan muatan aturan yang tidak mencerminkan kemandirian organisasi Profesi, menunjukkan pola pengaturan yang tidak partisipatif dan mengabaikan peran organisasi profesi.
9. RUU tentang Kesehatan yang tidak mengatur dengan baik muatan materi yang telah ada dalam UU Rumah Sakit memunculkan potensi pengaturan yang mengabaikan kepentingan masyarakat selaku konsumen kesehatan tidak terlayani dengan baik. RUU tentang Kesehatan dalam beberapa hal berpotensi menjadi ancaman terhadap optimalisasi peran dan aktualisasi kemampuan sumberdaya kesehatan, tenaga medis, dan tenaga kesehatan dalam negeri. dibukanya peluang kepada investor asing atau tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia.
Pengatutan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing dapat melakukan praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau noninvestasi, tanpa perlindungan terhadap tenaga profesi kesehatan yang cukup patut diubah melalui pengaturan ketentuan undang-undang profesi kesehatan tersendiri sebagaimana yang telah ada saat ini.
10. RUU tentang Kesehatan pada akhirnya mengindikasikan adanya upaya pengkerdilan terhadap peran Profesi kesehatan karena tidak diatur dengan undang undang tersendiri hal ini dikhawatirkan akan menghilangkan independensi lembaga profesi dalam menjalankan tugasnya.
Adapun, Setelah memberikan beberapa catatan kritis terhadap RUU tentang Kesehatan tersebut, maka Kami menyatakan sikap:
1. Perlu dilakukan kajian mendalam muatan materi RUU tentang Kesehatan dan mendorong Badan Legislasi (Baleg) DPR mengeluarkan Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan dari Proleknas 2023.
2. Melalui pengalaman beraktifitas di bidang kesehatan dan ketersediaan sumberdaya kepakaran yang dimiliki, Kami akan melakukan sophistikasi kajian tentang kesehatan yang lebih esensial dan sesuai dengan filosofi awalnya, yaitu pemenuhan hak dasar bidang kesehatan, dan tak terkecuali, sebagai organisasi dakwah (Muhammadiyah), memberikan nuansa humanis-profetis di dalamnya.