Karya jurnalis, Jakarta | – Paska tragedi G 30 S PKI/1065 tersebut muncullah Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 berisi antara lain pembatasan dan perayaan China.
Disusul Surat Edaran Nomor 06/Preskab/6/67 tentang penggunaan nama China dan istilah Tionghoa/Tiongkok ditinggalkan, muncullah Keputusan Presiden Kabinet Nomor 127/U/KEP/12/1966 tentang nama bagi masyarakat China. Beruntun keputusan Presiden Kabinet Nomor 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian masalah China.
“Pada masa Presiden Joko Widodo, Oligarki telah sampai ada pintu gerbang kemerdekaannya. Rezim saat ini tak paham sejarah Karpet Merah disediakan oleh Oligarki dan RRC,” kata Sutoyo Abadi,
Koordinator Kajian Politik Merah Putih dan Sekjen KAMI Lintas Provinsi dalam Forum Seminar Membedah Sikap dan Perilaku Oligarki di Indonesia di Jakarta, Kamis (01/09).
Tawaran manis Xi Jinping dari China diterima dengan suka cita, tanpa mau menyadari semua resiko yang akan terjadi nanti. Bahkan, di beberapa media Menlu Retno Marsudi meminta rakyat Indonesia bertepuk tangan.
Semua nota kesepahaman dari China ada beberapa implikasi strategis dan membahayakan keselamatan anak cucu, khususnya tentang kedatangan jutaan warga China dengan alasan untuk kerja di proyek yang didanainya.
Saat ini, lanjutnya, China di Indonesia sudah sudah mulai masuk dalam pertarungan politik praktis dengan mendirikan partai politik dan menguasai partai politik serta sudah menguasai pada penguasa pengambil kebijakan negara.
Selangkah lagi, tegas Sutoyo, target warga China harus bisa jadi Presiden Indonesia. Mereka sudah berhasil mengubah pasal 6 (1) UUD 45 adalah prestasi gemilang sebagai pintu masuk China sebagai penguasa di Indonesia.
Pasal 6 (1) UUD 1945 yang semula berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia ASLI diganti menjadi: “Presiden dan Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden”.
Bahkan, telah ikut merekayasa pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan, langsung atau tidak langsung ada dalam pengaruh dan kendalinya.
“Geliat Naga Melilit Garuda telah terjadi. Kecepatan China menguasai Indonesia berperan besar karena kelemahan Presiden kita yang minim kapasitas dan minim pemahaman sejarah dan lemah dalam pengetahuan geopolitik yang sedang dimainkan China.
Parahnya, indikasi kuat semua kebijakan negara sudah dalam kendali oligarki,” ungkapnya.
Pada awal sambutannya, Presiden Jokowi juga mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang senasib dan sepenanggungan saat bertemu dengan Presiden Xi Jinping di Beijing, Selasa (26/7). Juga mengatakan bahwa China merupakan mitra komprehensif strategis Indonesia.
Saat ini, Sutoyo menyebut, Indonesia sudah dikuasi RRC Oligarki dan sudah menguasai semua lembaga negara. Menguasai semua sektor ekonomi dan arah politik negara Indonesia.
Menurut Sutoyo, Dalam kondisi Negara sudah lumpuh dalam kendali Oligargi – Perlawanan yang harus dilakukan terhadap oligarki :
1. Tidak mungkin dilakukan dengan jalur Konstitusi.
2. Oligarki justru sudah memiliki kuasa membuat perangkat konstitusi (UU) dan peraturan negara lainnya melalui Pengelengara Negara dan Lembaga Negara yang sudah dalam Remote kendalinya.
3. Tersisa perlawanan rakyat melalui People Power atau Revolusi.
4. Musnahkan peran oligarki yang sudah merusak negara mengganti UUD ‘45 asli dengan UUD palsu yaitu UUD 2002 dengan segala dampak dan akibat kerusakan yang terjadi.
5. Hanya dengan jalan Revolusi untuk menata ulang negara, rakyat harus dicerahkan memilih kepala negara yang memiliki akal sehat , negarawan dan kembali ke UUD 45 asli.